Membangun Karakter Melalui Proses
oleh Eddy Sukmana
Orientasi proses
Mencermati geliat pendidikan di Indonesia, ada masa di mana pendidikan itu terasa bergairah. Pendidikan ditaburi dengan banyaknya presetasi yang membanggakan dari peserta didiknya, baik di tingkat sekolah, nasional, maupun internasional. Nama bangsa Indonesia ini terangkat sedemikian rupa ketika seorang siswa atau mahasiswa memenangkan suatu perlombaan, seperti olimpiade dan perlombaan lainnya.
Sayangnya gairah itu tidak dapat dinikmati oleh semua peserta didik di Indonesia. Pendidikan di Indonesia jika ditengok dari jagat angkasa maka yang terlihat adalah seperti awan mendung yang menyelimuti bumi. Hanya sedikit awan putih yang menghiasi pendidikan kita.
Secara umum dalam pendidikan kita terasa ada banyak kesedihan dan tak jarang ada kekecewaan di dalamnya. Hal itu dikarenakan tidak sedikit peserta didik yang harus menelan pil pahit dari sistem penilaian dalam pendidikan kita. Bagaimana tidak jika hampir setiap tahunnya ada ratusan siswa di indonesia harus mengulang atau bahkan tidak lagi melanjutkan pendidikannya setelah hampir tiga tahun atau lebih mengenyam pendidikan di bangku sekolah.
Ironinya, pelajarlah yang selalu menjadi kambing hitam dari permasalahan tahunan itu. Mereka dicap pemalas, tidak belajar dengan tekun atau bahkan tidak berprestasi. Jika cap-cap itu menempel, lalu mereka harus apa. Banyak dari mereka yang hanya mampu menangis dan menerima predikat tidak lulus, pemalas, atau bahkan tidak pandai. Padahal, pada kenyataanya yang gagal menembus dinasti Ujian Akhir Nasional itu, tidak sedikit pelajar-pelajar yang memiliki banyak prestasi bahkan unggul dalam pelajaran di sekolahnya.
Orientasi dari Ujian Akhir Nasional terlihat hanya pada hasil. Tujuannya yang dibungkus dengan istilah "untuk menguji kemampuan" hanyalah menjadi sebuah kedok dari lemahnya penilaian pada UAN. Penilaian yang diambil pada UAN hanyalah terbatas pada beberapa mata pelajaran saja, sedangkan untuk menguji kemampuan sesorang perlu ditinjau dari banyak aspek. Peninjauan dari beberapa mata pelajaran itu seakan akan hanya mengkotak-kotakan kemampuan seseorang. Kotak itu dibaratkan seperti alat pencetak kue yang hanya mencetak bentuk yang sama.
Sistem seperti mesin cetak itu lah yang kemudian membuat banyak peserta didik terjebak pada budaya instan yang menutup sebelah mata pada proses yang dilakukan untuk mencapai tujuan. Untuk sekedar lulus, mereka berusaha dengan cara apa pun untuk menyeimbangkan sistem pendidikan yang juga hanya melihat hasil akhir. Tidak jarang, cara yang ditempuh adalah cara yang kurang tepat, seperti membeli soal atau mencari kunci jawaban sebelum ujian.
Banyaknya kasus kebocoran soal dan jawaban menjelang Ujian akhir menjadi salah satu indikator bahwa para peserta didik sangat "ketakutan" dengan sistem penilaian UAN yang belum tentu dapat menjamin 100% keberhasilan dari upaya keras melalui pembelajaran.
Proses lebih dahulu dari hasil
Kita sering kali tidak menyadari bahwa sebenarnya proses lebih dahulu dari pada hasil. Yang lebih banyak kita pahami adalah hasil merupakan ukuran untuk melihat bahwa seseorang mampu atau tidak.
Sebagai sebuah analogi, saat seseorang lahir, yang pertama kali dilakukannya adalah menangis bukan bernyanyi. Apakah kita tau saat anak itu lahir bahwa ia akan menjadi seorang penyanyi. Proseslah yang akan menunjukan bahwa ia akan menjadi penyanyi atau tidak. Atau ketika seorang anak belajar berjalan, pasti diawali dengan merangkak terlebih dahulu. Tidak jarang dalam proses belajar itu, anak tersebut terjatuh saat berusaha berjalan.
Saat terjatuh dan bangkit lagi itulah yang kita sebut sebagai sebuah proses.
Proses bukan sesuatu yang tiba-tiba ada atau tiba-tiba mengalami perubahan. Bumi kita ini sebenarnya sudah mengajarkan sebuah proses di mana setiap perubahan di dalamnya tidak serta merta berubah secara tiba-tiba tanpa proses. Coba saja kita lihat bagaimana sebuah pohon bisa menghasilkan buah yang banyak dan enak untuk dimakan. Semuanya berawal dari sebuah biji atau bibit yang kecil. Setiap hari harus terus dirawaat dan mendapatkan cahaya yang cukup, air yang cukup dan pupuk yang cukup juga. Hal itu tidak dilakukan satu atau dua hari tetapi berhari-hari bahkan ada yang harus berbulan bulan dan bertahun tahun.
Barulah setelah dirawat sekian lama, buah pun akan nampak dan pada akhirnya dapat dipanen untuk lalu dinikmati. Tidak bisa bahwa begitu bibit ditanam satu atau dua jam berikutnya langsung berbuah. Semuanya harus menjalani yang dinamakan proses.
Sayangnya hal itu tidaklah disadari dalam pola pendidikan kita. Lemahnya kebiasaan yang mengabaikan proses membuat ungkapan-ungkapan seperti kamu anak bodoh, kamu anak malas, kamu anak tidak berprestasi atau kamu tidak akan lulus mudah terucapkan dan melekat pada peserta didik. Sebenarnya, Jika sebuah proses itu dijalani dan dihargai maka niat untuk berusaha pun akan tumbuh.Tetapi jika tidak ada rasa penghargaan terhadap proses maka akan semakin banyak orang berfikir untuk apa bersusah payah mengusahakan sesuatu jika yang didapat hanyalah celaan atau penilaian yang buruk.
kegagalan dipandang bukan sebagai bagian dari proses tetapi hanya sebagai sebuah hasil akhir.
Orang yang berhasil akan melihat kegagalan itu sebagai sebuah bagian dari proses panjang yang harus dialami dan dijalani. Sehingga ketika ia berhasil mencapai yang diinginkan , seseorang akan sadar betul akan perjuangan yang telah ia jalani dan akan menjadikan keberhasilan sebagai sebuah pijakan untuk melalukan hal yang lebih baik lagi.
Sebuah Perubahan
Untuk dapat membawa penilaian pada orientasi proses, perlu ada inovasi terhadap bentuk dari pola pembelajaran dan ujian di sekolah atau di lembaga pendidikan. Selama ini bentuk ujian yang ada adalah soal-soal pertayaan. Dan yang dijadikan nilai adalah benar dan salah. Jika benar dapat nilai namun jika salah ya tidak mendapatkan nilai. Semua diukur dengan sudut pandang benar atau salah.
Untuk dapat mengarah pada orientasi proses maka bentuk pembelajaran dan ujiannya pun harus berbentuk sebuah proses . Contohnya untuk ujian bahasa indonesia, peserta didik tidak selalu harus menjawab pertanyaan teoritis atau pun memilih mana yang benar atau salah. Dapat saja dalam jangka waktu tertentu misalnya satu semester, secara sendiri atau secara kelompok, mereka membuat kumpulan cerpen atau artikel yang dipublikasikan di media massa atau pun diterbitkan menjadi sebuah buku. Dari situ mereka akan lebih banyak belajar bahkan menerapkan teori-teori yang pernah diajarkan. Tidak hanya itu proses dalam pembuatan juga merupakan bagian dari penilaian perkembangan pribadi peserta didik. Di mana ketika mereka harus mencari ide, beradu argumen dengan teman temannya sendiri, atau bahkan ketika harus menjaga mood agar tetap stabil juga merupakan bagian dari penilian. Apakah mereka mampu mengeloh ide dan emosi mereka. Atau apakah mereka mampu mengatur waktu dan menjadi tangguh dalam tekan.
Proses penilai seperti ini tentu akan lebih berkesan bagi peserta didik, kerena mereka akan berkembang tidak hanya dalam satu sisi pendidikan namun mereka akan menjadi pribadi-pribadi yang tangguh dan tahan banting dalam kesulitan.
Jika kita sempat memperhatikan iklan lowongan pekerjaan, yang juga tertulis adalah mampu bekerja dalam tim dan mampu berada dalam tekanan. Itu artinya dunia pekerjaan membutuhkan calon calon pekerja yang mampu mengolah pribadinya dan mampu berjuang dalam kesulitan. Bukan calon pekerja yang hanya bisa mengatakan benar atau salah.
Peran institusi pendidikan
Peran sebuah institusi atau lembaga pendidikan dalam mem-pola anak didiknya sangatlah penting. Hampir separuh waktu dalam 24 jam, seorang pelajar atau peserta didik menghabiskan waktu di tempat belajar seperti sekolah atau kampus. Belum lagi saat ini sering kali anak anak usia sekolah dijejali dengan kursus ini dan itu. Artinya bahwa waktu yang digunakan untuk pendidikan cukup banyak.
Masalahnya saat ini adalah di manakah peserta didik itu akan ditempatkan agar mereka berada di tempat yang tepat sehingga kelak mereka dapat menjadi pribadi yang memiliki keunggulan.
Atas dasar itu, tidak sedikit yang berlomba lomba untuk mencari dan memasukan anak anaknya ke institusi atau lembaga pendidikan yang dilihat baik dan memiliki keunggulan. Harapannya adalah agar anak anak atau peserta didik tersebut dapat berkembang.
Geliat dan atusias kebanyakan orang yang ingin memilih tempat yang terbaik, dimanfaatkan dengan tepat oleh sebagian besar institusi pendidikan untuk menjaring sebanyak banyaknya perserta didik. Hasilnya adalah gaya pendidikan kita pun berubah.
Gaya Institusi pendidikan kita telah bergeser, dari sebagai tempat mendidik menjadi tempat berdagang. Peserta didik dikenakan biaya ini dan itu dengan bungkusan kalimat atau kata kata yang halus, seperti uang pembangunan, uang sukarela, atau bahkan uang seragam dan lain lain. Semuanya itu hanyalah sebuah bungkusan dari sebuah kalimat yang bila diterjemahkan menjadi bayarlah sejumlah uang agar dapat bersekolah atau belajar di institusi ini.
Hal itu diperparah dengan paradigma bahwa institusi pendidikan yang dikatakan baik pastilah identik dengan harga yang mahal. Sehingga banyak orang berjerih payah guna memenuhi tuntutan biaya tersebut agar mampu mendapatkan yang terbaik. Banyak orang berfikir bahwa harga yang mahal pastilah kwalitasnya pun baik. Namun pandangan tersebut akan lebih tepat jika diterapkan pada jual beli barang. Bukan pada sebuah paradigma pendidikan dan tempat pendidikan.
Jadi pendidikan itu harus murah? Tidak. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Banyak biaya yang harus dikeluarkan guna menunjang sebuah pendidikan. Namun mahalnya pendidikan tidaklah selalu menjamin kualitas, begitu pula dengan murahnya pendidikan. Tidak sedikit juga, institusi pendidikan mengenakan biaya murah atau bahkan pendidikan gratis malahan tidak bekualitas.
Mengukur sebuah peran dari sebuah institusi pendidikan atau lembaga pendidikan bukan lah serta merta dari biayanya saja. Tapi harus dilihat bagaimana tempat itu menjalani proses pembelajaran dan mengetahui apa yang menjadi pola di dalamnya. Jika dalam sebuah tempat pendidikan lebih menekankan pada hasil maka perlu lagi dicermati apakah tempat itu berkualitas atau tidak. Banyak tempat pendidikan yang “menjual” dengan cara mempromosikan bahwa ditempat mereka pasti akan lulus 100% atau pasti akan mudah bekerja. Padahal lulus 100 persen atau mudah bekerja hanyalah hasil yang dicapai. Namun jika di dalamnya tidak ada proses yang baik tentu lulusan dan calon pekerja tersebut hanya akan sekedar lulus dan bekerja. Kemampuan hidup mereka (live skill) dan mental tidak teruji, sehingga sesudah lulus atau masuk ke dunia pekerjaan banyak dari mereka yang dengan mudah menyerah pada tantangan dan tuntutan yang lebih berat.
Sehingga yang harus menjadi prioritas dari peran institusi pendidikan adalah membangun kemampuan hidup dan mental dari peserta didik. Dengan kemampuan hidup dan mental yang baik, akan dapat dipastikan peserta didik akan selalu siap dengan tantangan dan kesulitan. Mereka tidak akan mudah mengeluh dan menyerah pada kesulitan.
Membangun kemampuan hidup dan mental
Untuk membagun hal tersebut harus pertama tama disadari bahwa ini adalah sebuah proses. Tidak akan tiba tiba dimiliki atau menjadi sebuah kesatuan dengan kehidupan kita. Banyak orang mengatakan belajarlah dari pengalaman karena pengalaman adalah guru yang baik. Belajarlah dari pengalaman yang baik agar menjadi lebih baik. Belajarlah dari kegagalan untuk menjaga agar tidak masuk ke dalam kegagalan yang sama.
Itulah yang kita butuhkan untuk dapat mulai mengasah kemampuan hidup dan mental. Karena dengan hal itu, ketika kita berhasil kita akan sadar pada proses yang dilalui dan akan mencatatnya dalam benak dan hati kita untuk kemudian diterapkan kembali pada keberhasilan selanjutnya. Begitu pula ketika kita gagal, kita akan melihat bahwa kegagalan itu adalah sebuah pengalaman yang baik untuk memicu kita menjadi lebih baik lagi, bukan malah menjadikan kita putus asa dan merasa bahwa tidak akan pernah berhasil.
Selain itu, paradigma dalam melihat suatu tantangan dan kesulitan pun harus digeser 45 derajat agar kita mampu melihat dari sudut yang berbeda. Contohnya adalah ketika kita tidak lagi dapat mengubah pola ujian yang hanya mengetengahkan benar dan salah serta harus mengikuti pola ujian yang mengedepankan angka maka yang perlu kita lihat dari sudut yang berbeda adalah proses sebelum kita menyiapkan ujian tersebut. Ketika menyiapkan ujian, kita tentu harus belajar dan menyisihkan waktu lebih banyak untuk belajar. Hal itu akan mengorbankan beberapa keinginan kita yang lain seperti keinginan untuk jalan jalan dengan teman-teman atau menonton film terbaru.
Di saat kita memilih untuk belajar, mengatur waktu atau jadwal dan mengurangi waktu untuk kesenangan kita, di sanalah proses pendidikan sedang berlangsung. Tanpa kita sadari atau kita sadari bahwa kemampuan kita dalam memilih prioritas sedang diasah dan itulah yang kelak akan lebih berguna dalam dunia pekerjaan atau pun kehidupan sehari hari. Selain itu mental kita pun sedang dibentuk dalam proses tadi. Di mana mental sebagai orang yang mau berusaha dan tidak mudah menyerah sedang dikembangkan.
Dalam konteks ini, pergeseran paradigmalah yang dibutuhkan. Kita tidak bisa selalu menyalahkan sistem yang sudah ada atau mengeluh dengan situasi yang sedang kita hadapi. Berada dalam keluhan dan ketidak berdaya bukanlah sebuah mental yang tepat untuk mampu menghadapi kesulitan. Karena kita akan selalu berada dalam kurungan ketidak berdayaan jika hanya berfikir bahwa situasi diluar kita tidak mendukung perubahan kita.
Pergerseran paradigma ini juga merupakan sebuah proses yang perlu disadari bahwa untuk mencapai paradigma tersebut membutuhkan waktu dan tahap yang bekesinambungan.
Ibarat batu karang yang keras, sekeras kerasnya batu itu akan berlubang juga ketika ada tetesan air yang jatuh diatasnya terus menerus. Tidak bisa hanya satu tetes. Artinya sebuah pembentukan karakter membutuhkan sebuah proses pembiasaan. Sehingga dengan proses kebiasaan hal baik yang kita lakukan akan menjadi karakter kita yang tidak mudah untuk berubah. Contohnya ketika kita membiasakan diri dari saat ini untuk tidak lagi menunda pekerjaan dan selalu mengerjakan pekerjaan dengan tepat waktu maka lama kelamaan hal itu akan menjadi bagian dari karakter kita yang tidak hanya dilihat oleh diri sendiri tetapi juga dilihat oleh orang lain.
Karakter merupakan perkembangan dari kebiasaan. Dan kebiasaan merupakan kumpulan dari keinginan kuat untuk bisa membiasakan diri. Jadi, ketika kita ingin melakukan perubahan paradigma dan kebiasaan kita pun perlu memiliki keinginan (will) yang kuat. Jika perkembagan karakter dan perubahan positiflah yang kita inginkan maka sadarilah itu sebagai sebuah proses dan tekunilah itu sebagai sebuah kebiasaan. Jadikanlah itu sebagai pola pendidikan yang lebih diunggulkan minimal bagi diri sendiri dari pada sekedar mengejar pendidikan formal yang lebih berorientasi pada angka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar